Cerita Pengalaman Mendaki Gunung Lawu Via Cemoro Sewu
Waktu itu di hari jumat mendekati akhir bulan november tahun dua ribu delapan belas, saya dan dua orang teman melakukan pendakian ke gunung lawu yang terletak di Jawa Timur.
Beberapa hari sebelum mendaki, kami berembug terlebih dahulu tentang beberapa hal sebelum melakukan pendakian, salah satunya tentang rembukan mau melakukan pendakian kapan dan lewat jalur mana yang akan kita lewati.
Setelah mencari beberapa informasi tentang jalur mana saja yang bisa dilewati, akhirnya kami memutuskan untuk mendaki via Cemoro Sewu, terletak di jalan alternatif untuk menuju arah Magetan, Jawa Timur dan berangkat pada hari jumat.
Kami memilih jalur cemoro sewu karena letak basecampnya yang sudah berada di atas ketinggian seribu sembilan ratus mdpl, sehingga pikiran kami ( saat itu ) untuk sampai puncak tidak memakan waktu yang lama.
Dan kenapa kami memilih hari jumat?
Alasannya untuk lebih menikmati perjalanan pendakian yang tentu tidak akan seramai di hari sabtu. Karena pada hari sabtu jalur tersebut pasti ramai para pendaki lainnya, dan memang kami tidak terlalu suka dengan keramaian.
Akhirnya hari jumat pun tiba, hari di mana kita bersepakat untuk melakukan perjalanan dan pendakian di gunung Lawu.
Berangkat Menuju Basecamp Cemoro Sewu
Berangkat dari Jogja sekitar pukul sepuluh pagi, sayapun menghampiri teman yang tinggal di daerah Klaten, kami memutuskan untuk kumpul dahulu di sana.
Dan baru berangkat menuju basecamp setelah jumatan, tapi sebelum itu pergi ke tempat penyewaan alat-alat camping terlebih dahulu karena memang diantara kami tidak ada yang punya perlengkapan pendakian seperti tenda, kompor, sleeping bag, dan lainnya.
Tapi sayangnya tempat di mana kami menyewa alat camping tersebut tidak menyewakan sleeping bag dan matras.
Kurang lebih pukul tiga sore, kami sampai di daerah perbatasan antara Solo dan Karanganyar. Menyempatkan mampir di mini market untuk membeli perbekalan untuk mendaki.
Cuaca Yang Kurang Mendukung
Dari daerah itu terlihat awan hitam pekat di sebelah timur arah yang kami tuju.
Ternyata benar, setelah beberapa kilo melanjutkan perjalanan, hujan yang begitu deras turun menghunjam bumi. Mau tidak mau harus berteduh terlebih dahulu sembari menyantap nasi bungkus bekal teman saya yang kami makan bersama sekaligus menunggu hujannya reda.
Barulah sekitar pukul setengah lima, kami sampai di daerah Tawangmangu di kaki gunung lawu. Walaupun sore hari, kabut putih tampak terlihat jelas menyelimuti dan menemani perjalanan kami menuju basecamp.
Sampai Juga Di Basecamp
Tibalah kami di basecamp Cemoro Sewu yang terletak tepat di pinggir jalan aspal, jadi tidak terlalu sulit untuk menemukannya, tidak harus masuk-masuk ke daerah pemukiman warga.
Benar saja di basecamp cuma ada beberapa orang yang mau melakkukan pendakian, jadi sesuai rencana awal kami yang menginginkan pendakian dengan kondisi tidak ramai pendaki.
Sayapun menjumpai seorang pendaki lain berasal dari Wonosobo yang mau melakukan pendakian gunung lawu seorang diri. Kami saling mengobrol tentang pengalaman dan bertukar cerita seputar gunung.
Jadi enaknya mengobrol dengan orang yang satu hobi itu adalah mudah akbrabnya karena mempunyai kegemaran yang sama walaupun sebelumnya belum pernah ketemu sama sekali apalagi saling kenal.
Setelah maghrib berlalu, kami berembug untuk mulai pendakian kapan. Pilihannya dua yaitu di malamnya langsung atau menunggu pagi esok tiba.
Mendaki malam akhirnya menjadi pilahan kami. Dikarenakan cuaca yang cukup cerah walaupun sehabis diguyur hujan ditambah kami memang lebih terbiasa mendaki gunung di malam hari.
Sekitar pukul delapan malam, kami bertiga dengan satu orang teman baru jadi totalnya empat orang mulai melakukan pendakian. Tapi terlebih dahulu harus melakukan registrasi dengan meninggalkan kartu identitas di bagian pintu masuk pos gunung lawu via Cemoro Sewu.
Mulai Melakukan Pendakian
Keunikan jalur pendakian via cemoro sewu adalah jalurnya yang sudah tertata bebatuan sepanjang jalan dari basecamp sampai pos lima, sehingga jalurnya cukup jelas untuk dilewati.
Pendakian dari basecamp menuju pos satu masih belum terlalu terasa lelahnya, tapi dari pos satu menuju pos dua, rasa lelah mulai datang menghampiri karena jalur dari pos satu ke pos dua merupakan jalur terlama dan terpanjang yang harus kami lewati ( menurut saya ).
Berhubung saya dan salah satu teman merasa lelah, kami berdua memilih untuk beristirahat terlebih dahulu. Tapi dua orang lainnya memilih untuk terus melanjutkan perjalanan menuju pos dua. Dan kami bersepakat untuk bertemu di sana.
Sepi di kesunyian malam itulah yang saya dan teman saya rasakan di malam itu. Cuma berdua, istirahat sembari menghabiskan sebatang rokok, perasaan aneh pun muncul ketika kami mencium bau aneh yang cukup menusuk hidung.
Ketika saya tanyakan ke teman sebelah, dia pun juga mencium bau tersebut tapi kami membatasi obrolan dan lebih memilih untuk segera melanjutkan perjalanan menuju pos dua.
Cerita Pos Dua Ke Pos Berikunya
Sampailah kami di pos dua. Ternyata di sana ada beberapa pendaki yang mendirikan tenda dan ternyata teman saya sedang mengobrol dengan para pendaki tersebut tapi orang yang bareng kami dari basecamp telah terlebih dahulu melanjutkan perjalanan.
Di pos dua ini kami bersitirahat lumayan lama, kebetulan ada satu warung penjual gorengan yang masih buka di malam hari. Sembari beristirahat, kami memasak air hingga mendidih untuk menyeduh kopi ditambah gorengan panas yang kami beli di warung itu.
Setelah puas memakan gorengan ditemani kopi panas, kamipun melanjutkan perjalanan lagi menuju pos tiga, pos empat, dan pos lima. Jalur yang harus dilewati untuk sampai pos tiga, empat dan lima cukup curam berupa anak tangga dari bebatuan yang tersusun rapi.
Ternyata di pos lima lebih banyak tenda-tenda dari pendaki lain yang sudah berdiri. Kamipun memilih untuk terus melanjutkan perjalanan lagi menuju sendang drajat karena jarak dari pos lima sampai sendang drajat tidak terlalu jauh dan jalurnya pun cukup landai.
Camping Di Sendang Drajat
Tapi mungkin karena saking lelahnya saya, di perjalanan tersebut saya mengajak untuk duduk dan beristirahat sebentar. Tanpa terasa saya tertidur bahkan sampai bermimpi saking lelapnya di jalur pendakian antara pos lima menuju sendang drajat.
Salah satu temanpun membangunkan saya untuk kembali melanjutkan perjalanan. Ehhh kurang lebih berjalan sekitar seratus lima puluh meter dari tempat saya tertidur ternyata kami sudah sampai di camp area sendang drajat.
Tanpa pikir panjang tas kami turunkan dari gendongan dan bergegas mendirikan tenda untuk segera beristirahat dan tidur karena karena badan sudah tidak bisa diajak kompromi lagi.
Tak berselang lama setelah terlelap, suara obrolan para pendaki lain mulai terdengar, menandakan matahari pagi sebentar lagi akan memancarkan sinarnya dan para pendaki tersebut sedang summit menuju puncak gunung.
Kami bertiga yang ada di dalam tenda terbangun untuk keluar beberapa saat demi ingin melihat serta menikmati sunrise dari arah timur yang cukup memanjakkan mata.
Kembali Tidur Di Tenda
Berhubung badan masih belum bisa diajak kompromi, tak berselang lama setelah matahari mulai memancarkan sinarnya, kami lebih memilih untuk tidur dan beristirahat daripada melanjutkan perjalanan menuju puncak.
Kurang lebih selama tiga jam terlelap dan masuk dalam dunia mimpi, matapun terbangun karena perut kosong yang minta diisi.
Bekal mie instan yang kami bawa akhirnya kami masak untuk megisi perut yang sudah keroncongan. Dan sembari menyantap mie instan, kami berembug untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak atau tidak.
Cerita Di Puncak Hargo Dumilah
Berbubung puncak yang tinggal di depan mata, akhirnya kami memutuskan untuk terus melanjutkan pendakian dengan membawa bekal berupa air mineral dan barang berharga saja, untuk barang berat lainnya kami tinggal di tenda.
Sampailah kami di puncak hargo dumilah, salah satu puncak dari gunung lawu yang terdapat sebuah monumen sebagai pertanda dari puncak gunung tersebut.
Ketika di puncak kami tidak terlalu lama, cuma mengambil beberapa foto sebagai kenangan pertanda kami telah menapakkan kaki untuk sampai di titik tertinggi dari gunung lawu yaitu puncak hargo dumilah.
Alasan lain untuk kami tidak terlalu lama di puncak adalah banyaknya serangga kecil berterbangan yang cukup mengganggu.
Tapi anehnya saat ada sedikit rintik hujan datang, serangga tersebut hilang entah kemana dan saat langit cerah, serangga tersebut kembali muncul dengan jumlah yang cukup banyak.
Sampai Juga Di Warung Legendaris Mbok Yem
Setelah puas menapakkan kaki di puncak, tujuan kami berikutnya adalah warung tertinggi dan cukup terkenal yang ada di Pulau Jawa yaitu adalah warung Mbok Yem.
Ketika sampai di warung tersebut, ternyata tidak seperti apa yang saya pikirkan sebelumnya. Selain warung Mbok Yem, ternyata masih ada beberapa warung-warung lainnya, tapi mungkin warung Mbok Yem adalah yang pertama kali ada, sehingga yang paling terkenal adalah warung tersebut.
Di warung tersebut kami juga tidak berlama-lama, cuma duduk dan membeli satu botol air mineral untuk persediaan perjalanan menuju tempat kami mendirikan tenda.
Berkemas Untuk Turun Ke Basecamp
Cuaca panas terik matahari, membuat kami tidak betah untuk berlama-lama di dalam tenda. Akhirnya tanpa tenda serta perlengkapan camping lainya kami bongkar dan berkemas untuk segera kembali turun ke basecamp.
Dari yang sebelumnya cuaca panas terik berubah menjadi gelap tertutup awan mendung dan itu kami jumpai ketika sudah sampai pos tiga. Tanpa pikir panjang langkah kaki kami percepat untuk sampai pos dua.
Di pos dua ini kami beristirahat lumayan lama karena kaki terasa pegal setalah turun dari tempat kami mendirikan tenda. Rombongan pendaki jauh lebih ramai ketimbang hari dimana kami mendaki dan itu membuat setiap pos cuma tersisa sedikit ruang untuk bersistirahat.
Hujan Menjadi Teman
Sekitar pukul setengah lima sore, kami melanjutkan turun ke basecamp. Tapi mungkin belum ada setengah perjalanan dari pos dua ke pos satu, rintik hujan mulai turun semakin lama semakin deras.
Berhenti sejenak untuk memakai jas hujan kemudian melanjutkan kembali perjalanan. Ternyata semakin lama hujanpun turun dengan derasnya.
Sialnya di saat hari semakin gelap dan hujan masih turun cukup deras, kami lupa untuk mengeluarkan senter yang ada di dalam tas. Jadi waktu itu kami hanya mengandalkan cahaya kilat dari langit yang sesekali muncul dan cukup membantu untuk menerangi jalan setapak yang kami lewati.
Ketika itu hari mulai gelap, hujan masih turun cukup deras dan airnya pun mulai masuk ke dalam baju sehingga menyebabkan baju yang kami gunakan menjadi basah.
Sama sekali kami tidak bertemu dengan pendaki lainnya. Saat itu juga saya mulai khawatir dengan kondisi yang kami alami. Ketika ingin berhenti tidak ada tempat berteduh dan jika berhenti takutnya malah kedinginan karena baju yang digunakan sudah basah.
Jalan satu-satunya ya tetap terus melanjutkan perjalanan.
Cahaya Penerang Datang Membantu
Tanpa kami sadari ternyata di belakang tiba-tiba ada orang yang membantu menerangi jalan menggunakan lampu senter di tangannya.
Kami kira waktu itu adalah pendaki lain yang juga turun ke basecamp. Tapi ternyata itu adalah sepasang suami istri yang memang sering naik turun gunung lawu untuk mencari nafkah dengan cara berjualan di atas sana.
Rasa syukur dan terimakasih tentu tak lupa kami ucapkan untuk dua orang baik tersebut yang telah membantu kami untuk sampai ke basecamp dengan selamat dan tanpa kurang sesuatu apapun.
Memakai Baju Seadanya
Tapi sayangnya waktu itu di basecamp penuh dengan para pendaki yang mau atau sudah melakukan pendakian, sehingga basecamp menjadi penuh sesak, bahkan kami tidak kebagian tempat untuk bermalam.
Kondisi saya sehabis turun dari gunung, bisa dibilang benar-benar memprihatinkan. Jaket, baju, celana, sepatu yang saya gunakan basah semua. Dan saya cuma membawa satu baju ganti, satu celana pendek dan sarung.
Terpaksa malam itu saya hanya memakai baju ganti tersebut tanpa menggunakan jaket dan cuma sarung tipis sebagai alat penghangat tubuh yang saya gunakan.
Bermalam Di Mushola
Kalau mau langsung pulang masih kelelahan ditambah rasa dingin membuat badan menggigil, soalnya kondisi masih hujan gerimis, takutnya malah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Akhirnya kami memutuskan untuk bermalam satu malam lagi.
Karena basecampnya memiliki ukuran yang tidak terlalu luas dan ramai para pendaki menyebabkan kami tidak bisa tidur dan beristirahat di situ. Tapi untungnya tak jauh dari basecamp ada satu mushola tepat di sebelah kiri setelah pintu masuk terlihat sepi tidak ada orang..
Tapi ternyata lantai mushola tersebut basah karena memang saat hujan deras, air dapat masuk karena tembok dari mushola tersebut tidak terlalu tinggi.
Berhubung tidak ada tempat lagi, terpaksa kami mengepel lantai tersebut menggunakan kain yang tergeletak disitu tapi memang sudah dalam keadaan basah. Dan beruntungnya ada karpet dengan kondisi kering dan itu kami gunakan untuk alas tidur.
Diantara Terbangun Dan Tertidur
Dibilang tidur ya bangun, dibilang bangun ya tidur. Itulah yang saya atau kami rasakan di malam itu. Saking dinginnya malam yang kami rasakan membuat kami tidak bisa beristirahat dengan nyaman.
Malam itu benar-benar tidak bisa saya lupakan. Sebuah pengalaman yang membuat saya sadar pentingnya mempersiapkan segala sesuatu dengan sematang-matangnya supaya tidak akan kesusahan bila ada sesuatu yang tiba-tiba terjadi.
Dan paginya jauh lebih baik. Cuaca cerah cukup menghangatkan tubuh yang kedingininan ditambah semangkuk bakso penthol khas daerah situ menjadi menu sarapan di pagi hari itu.
Kurang lebih pukul sembilan, kami berkemas untuk selanjutnya pulang kembali ke rumah.
Beberapa hari sebelum mendaki, kami berembug terlebih dahulu tentang beberapa hal sebelum melakukan pendakian, salah satunya tentang rembukan mau melakukan pendakian kapan dan lewat jalur mana yang akan kita lewati.
Setelah mencari beberapa informasi tentang jalur mana saja yang bisa dilewati, akhirnya kami memutuskan untuk mendaki via Cemoro Sewu, terletak di jalan alternatif untuk menuju arah Magetan, Jawa Timur dan berangkat pada hari jumat.
Kami memilih jalur cemoro sewu karena letak basecampnya yang sudah berada di atas ketinggian seribu sembilan ratus mdpl, sehingga pikiran kami ( saat itu ) untuk sampai puncak tidak memakan waktu yang lama.
Dan kenapa kami memilih hari jumat?
Alasannya untuk lebih menikmati perjalanan pendakian yang tentu tidak akan seramai di hari sabtu. Karena pada hari sabtu jalur tersebut pasti ramai para pendaki lainnya, dan memang kami tidak terlalu suka dengan keramaian.
Akhirnya hari jumat pun tiba, hari di mana kita bersepakat untuk melakukan perjalanan dan pendakian di gunung Lawu.
Berangkat Menuju Basecamp Cemoro Sewu
Berangkat dari Jogja sekitar pukul sepuluh pagi, sayapun menghampiri teman yang tinggal di daerah Klaten, kami memutuskan untuk kumpul dahulu di sana.
Dan baru berangkat menuju basecamp setelah jumatan, tapi sebelum itu pergi ke tempat penyewaan alat-alat camping terlebih dahulu karena memang diantara kami tidak ada yang punya perlengkapan pendakian seperti tenda, kompor, sleeping bag, dan lainnya.
Tapi sayangnya tempat di mana kami menyewa alat camping tersebut tidak menyewakan sleeping bag dan matras.
Kurang lebih pukul tiga sore, kami sampai di daerah perbatasan antara Solo dan Karanganyar. Menyempatkan mampir di mini market untuk membeli perbekalan untuk mendaki.
Cuaca Yang Kurang Mendukung
Dari daerah itu terlihat awan hitam pekat di sebelah timur arah yang kami tuju.
Ternyata benar, setelah beberapa kilo melanjutkan perjalanan, hujan yang begitu deras turun menghunjam bumi. Mau tidak mau harus berteduh terlebih dahulu sembari menyantap nasi bungkus bekal teman saya yang kami makan bersama sekaligus menunggu hujannya reda.
Barulah sekitar pukul setengah lima, kami sampai di daerah Tawangmangu di kaki gunung lawu. Walaupun sore hari, kabut putih tampak terlihat jelas menyelimuti dan menemani perjalanan kami menuju basecamp.
Sampai Juga Di Basecamp
Tibalah kami di basecamp Cemoro Sewu yang terletak tepat di pinggir jalan aspal, jadi tidak terlalu sulit untuk menemukannya, tidak harus masuk-masuk ke daerah pemukiman warga.
Benar saja di basecamp cuma ada beberapa orang yang mau melakkukan pendakian, jadi sesuai rencana awal kami yang menginginkan pendakian dengan kondisi tidak ramai pendaki.
Sayapun menjumpai seorang pendaki lain berasal dari Wonosobo yang mau melakukan pendakian gunung lawu seorang diri. Kami saling mengobrol tentang pengalaman dan bertukar cerita seputar gunung.
Jadi enaknya mengobrol dengan orang yang satu hobi itu adalah mudah akbrabnya karena mempunyai kegemaran yang sama walaupun sebelumnya belum pernah ketemu sama sekali apalagi saling kenal.
Setelah maghrib berlalu, kami berembug untuk mulai pendakian kapan. Pilihannya dua yaitu di malamnya langsung atau menunggu pagi esok tiba.
Mendaki malam akhirnya menjadi pilahan kami. Dikarenakan cuaca yang cukup cerah walaupun sehabis diguyur hujan ditambah kami memang lebih terbiasa mendaki gunung di malam hari.
Sekitar pukul delapan malam, kami bertiga dengan satu orang teman baru jadi totalnya empat orang mulai melakukan pendakian. Tapi terlebih dahulu harus melakukan registrasi dengan meninggalkan kartu identitas di bagian pintu masuk pos gunung lawu via Cemoro Sewu.
Mulai Melakukan Pendakian
Keunikan jalur pendakian via cemoro sewu adalah jalurnya yang sudah tertata bebatuan sepanjang jalan dari basecamp sampai pos lima, sehingga jalurnya cukup jelas untuk dilewati.
Pendakian dari basecamp menuju pos satu masih belum terlalu terasa lelahnya, tapi dari pos satu menuju pos dua, rasa lelah mulai datang menghampiri karena jalur dari pos satu ke pos dua merupakan jalur terlama dan terpanjang yang harus kami lewati ( menurut saya ).
Berhubung saya dan salah satu teman merasa lelah, kami berdua memilih untuk beristirahat terlebih dahulu. Tapi dua orang lainnya memilih untuk terus melanjutkan perjalanan menuju pos dua. Dan kami bersepakat untuk bertemu di sana.
Sepi di kesunyian malam itulah yang saya dan teman saya rasakan di malam itu. Cuma berdua, istirahat sembari menghabiskan sebatang rokok, perasaan aneh pun muncul ketika kami mencium bau aneh yang cukup menusuk hidung.
Ketika saya tanyakan ke teman sebelah, dia pun juga mencium bau tersebut tapi kami membatasi obrolan dan lebih memilih untuk segera melanjutkan perjalanan menuju pos dua.
Cerita Pos Dua Ke Pos Berikunya
Sampailah kami di pos dua. Ternyata di sana ada beberapa pendaki yang mendirikan tenda dan ternyata teman saya sedang mengobrol dengan para pendaki tersebut tapi orang yang bareng kami dari basecamp telah terlebih dahulu melanjutkan perjalanan.
Di pos dua ini kami bersitirahat lumayan lama, kebetulan ada satu warung penjual gorengan yang masih buka di malam hari. Sembari beristirahat, kami memasak air hingga mendidih untuk menyeduh kopi ditambah gorengan panas yang kami beli di warung itu.
Setelah puas memakan gorengan ditemani kopi panas, kamipun melanjutkan perjalanan lagi menuju pos tiga, pos empat, dan pos lima. Jalur yang harus dilewati untuk sampai pos tiga, empat dan lima cukup curam berupa anak tangga dari bebatuan yang tersusun rapi.
Ternyata di pos lima lebih banyak tenda-tenda dari pendaki lain yang sudah berdiri. Kamipun memilih untuk terus melanjutkan perjalanan lagi menuju sendang drajat karena jarak dari pos lima sampai sendang drajat tidak terlalu jauh dan jalurnya pun cukup landai.
Camping Di Sendang Drajat
Tapi mungkin karena saking lelahnya saya, di perjalanan tersebut saya mengajak untuk duduk dan beristirahat sebentar. Tanpa terasa saya tertidur bahkan sampai bermimpi saking lelapnya di jalur pendakian antara pos lima menuju sendang drajat.
Salah satu temanpun membangunkan saya untuk kembali melanjutkan perjalanan. Ehhh kurang lebih berjalan sekitar seratus lima puluh meter dari tempat saya tertidur ternyata kami sudah sampai di camp area sendang drajat.
Tanpa pikir panjang tas kami turunkan dari gendongan dan bergegas mendirikan tenda untuk segera beristirahat dan tidur karena karena badan sudah tidak bisa diajak kompromi lagi.
Tak berselang lama setelah terlelap, suara obrolan para pendaki lain mulai terdengar, menandakan matahari pagi sebentar lagi akan memancarkan sinarnya dan para pendaki tersebut sedang summit menuju puncak gunung.
Kami bertiga yang ada di dalam tenda terbangun untuk keluar beberapa saat demi ingin melihat serta menikmati sunrise dari arah timur yang cukup memanjakkan mata.
Kembali Tidur Di Tenda
Berhubung badan masih belum bisa diajak kompromi, tak berselang lama setelah matahari mulai memancarkan sinarnya, kami lebih memilih untuk tidur dan beristirahat daripada melanjutkan perjalanan menuju puncak.
Kurang lebih selama tiga jam terlelap dan masuk dalam dunia mimpi, matapun terbangun karena perut kosong yang minta diisi.
Bekal mie instan yang kami bawa akhirnya kami masak untuk megisi perut yang sudah keroncongan. Dan sembari menyantap mie instan, kami berembug untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak atau tidak.
Cerita Di Puncak Hargo Dumilah
Berbubung puncak yang tinggal di depan mata, akhirnya kami memutuskan untuk terus melanjutkan pendakian dengan membawa bekal berupa air mineral dan barang berharga saja, untuk barang berat lainnya kami tinggal di tenda.
Sampailah kami di puncak hargo dumilah, salah satu puncak dari gunung lawu yang terdapat sebuah monumen sebagai pertanda dari puncak gunung tersebut.
Ketika di puncak kami tidak terlalu lama, cuma mengambil beberapa foto sebagai kenangan pertanda kami telah menapakkan kaki untuk sampai di titik tertinggi dari gunung lawu yaitu puncak hargo dumilah.
Alasan lain untuk kami tidak terlalu lama di puncak adalah banyaknya serangga kecil berterbangan yang cukup mengganggu.
Tapi anehnya saat ada sedikit rintik hujan datang, serangga tersebut hilang entah kemana dan saat langit cerah, serangga tersebut kembali muncul dengan jumlah yang cukup banyak.
Sampai Juga Di Warung Legendaris Mbok Yem
Setelah puas menapakkan kaki di puncak, tujuan kami berikutnya adalah warung tertinggi dan cukup terkenal yang ada di Pulau Jawa yaitu adalah warung Mbok Yem.
Ketika sampai di warung tersebut, ternyata tidak seperti apa yang saya pikirkan sebelumnya. Selain warung Mbok Yem, ternyata masih ada beberapa warung-warung lainnya, tapi mungkin warung Mbok Yem adalah yang pertama kali ada, sehingga yang paling terkenal adalah warung tersebut.
Di warung tersebut kami juga tidak berlama-lama, cuma duduk dan membeli satu botol air mineral untuk persediaan perjalanan menuju tempat kami mendirikan tenda.
Berkemas Untuk Turun Ke Basecamp
Cuaca panas terik matahari, membuat kami tidak betah untuk berlama-lama di dalam tenda. Akhirnya tanpa tenda serta perlengkapan camping lainya kami bongkar dan berkemas untuk segera kembali turun ke basecamp.
Dari yang sebelumnya cuaca panas terik berubah menjadi gelap tertutup awan mendung dan itu kami jumpai ketika sudah sampai pos tiga. Tanpa pikir panjang langkah kaki kami percepat untuk sampai pos dua.
Di pos dua ini kami beristirahat lumayan lama karena kaki terasa pegal setalah turun dari tempat kami mendirikan tenda. Rombongan pendaki jauh lebih ramai ketimbang hari dimana kami mendaki dan itu membuat setiap pos cuma tersisa sedikit ruang untuk bersistirahat.
Hujan Menjadi Teman
Sekitar pukul setengah lima sore, kami melanjutkan turun ke basecamp. Tapi mungkin belum ada setengah perjalanan dari pos dua ke pos satu, rintik hujan mulai turun semakin lama semakin deras.
Berhenti sejenak untuk memakai jas hujan kemudian melanjutkan kembali perjalanan. Ternyata semakin lama hujanpun turun dengan derasnya.
Sialnya di saat hari semakin gelap dan hujan masih turun cukup deras, kami lupa untuk mengeluarkan senter yang ada di dalam tas. Jadi waktu itu kami hanya mengandalkan cahaya kilat dari langit yang sesekali muncul dan cukup membantu untuk menerangi jalan setapak yang kami lewati.
Ketika itu hari mulai gelap, hujan masih turun cukup deras dan airnya pun mulai masuk ke dalam baju sehingga menyebabkan baju yang kami gunakan menjadi basah.
Sama sekali kami tidak bertemu dengan pendaki lainnya. Saat itu juga saya mulai khawatir dengan kondisi yang kami alami. Ketika ingin berhenti tidak ada tempat berteduh dan jika berhenti takutnya malah kedinginan karena baju yang digunakan sudah basah.
Jalan satu-satunya ya tetap terus melanjutkan perjalanan.
Cahaya Penerang Datang Membantu
Tanpa kami sadari ternyata di belakang tiba-tiba ada orang yang membantu menerangi jalan menggunakan lampu senter di tangannya.
Kami kira waktu itu adalah pendaki lain yang juga turun ke basecamp. Tapi ternyata itu adalah sepasang suami istri yang memang sering naik turun gunung lawu untuk mencari nafkah dengan cara berjualan di atas sana.
Rasa syukur dan terimakasih tentu tak lupa kami ucapkan untuk dua orang baik tersebut yang telah membantu kami untuk sampai ke basecamp dengan selamat dan tanpa kurang sesuatu apapun.
Memakai Baju Seadanya
Tapi sayangnya waktu itu di basecamp penuh dengan para pendaki yang mau atau sudah melakukan pendakian, sehingga basecamp menjadi penuh sesak, bahkan kami tidak kebagian tempat untuk bermalam.
Kondisi saya sehabis turun dari gunung, bisa dibilang benar-benar memprihatinkan. Jaket, baju, celana, sepatu yang saya gunakan basah semua. Dan saya cuma membawa satu baju ganti, satu celana pendek dan sarung.
Terpaksa malam itu saya hanya memakai baju ganti tersebut tanpa menggunakan jaket dan cuma sarung tipis sebagai alat penghangat tubuh yang saya gunakan.
Bermalam Di Mushola
Kalau mau langsung pulang masih kelelahan ditambah rasa dingin membuat badan menggigil, soalnya kondisi masih hujan gerimis, takutnya malah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Akhirnya kami memutuskan untuk bermalam satu malam lagi.
Karena basecampnya memiliki ukuran yang tidak terlalu luas dan ramai para pendaki menyebabkan kami tidak bisa tidur dan beristirahat di situ. Tapi untungnya tak jauh dari basecamp ada satu mushola tepat di sebelah kiri setelah pintu masuk terlihat sepi tidak ada orang..
Tapi ternyata lantai mushola tersebut basah karena memang saat hujan deras, air dapat masuk karena tembok dari mushola tersebut tidak terlalu tinggi.
Berhubung tidak ada tempat lagi, terpaksa kami mengepel lantai tersebut menggunakan kain yang tergeletak disitu tapi memang sudah dalam keadaan basah. Dan beruntungnya ada karpet dengan kondisi kering dan itu kami gunakan untuk alas tidur.
Diantara Terbangun Dan Tertidur
Dibilang tidur ya bangun, dibilang bangun ya tidur. Itulah yang saya atau kami rasakan di malam itu. Saking dinginnya malam yang kami rasakan membuat kami tidak bisa beristirahat dengan nyaman.
Malam itu benar-benar tidak bisa saya lupakan. Sebuah pengalaman yang membuat saya sadar pentingnya mempersiapkan segala sesuatu dengan sematang-matangnya supaya tidak akan kesusahan bila ada sesuatu yang tiba-tiba terjadi.
Dan paginya jauh lebih baik. Cuaca cerah cukup menghangatkan tubuh yang kedingininan ditambah semangkuk bakso penthol khas daerah situ menjadi menu sarapan di pagi hari itu.
Kurang lebih pukul sembilan, kami berkemas untuk selanjutnya pulang kembali ke rumah.